Nama Jiffest untuk yang suka banget dengan dunia film pasti udah gak asing banget… secara Jiffest bisa dibilang salah satu festival film yang cukup besar di Indonesia (walaupun masih pake nama “Jakarta”), dan tahun 2008 ini gak terasa udah penyelenggaraan Jiffest yang ke 10 aja.
Terasa singkat untuk sebuah Jiffest, karena kalo diitung-itung cuma digelar 5 hari aja, mulai tanggal 5 sampe tanggal 9 Desember, padahal seinget gue tahun-tahun sebelumnya kayaknya lebih lama deh, dan lebih heboh untuk publikasinya. Kurang dana? Mungkin… tapi beruntung, tahun ini gue menyempatkan diri untuk melihat sendiri beberapa film yang hadir di Jakarta International Film Festival 2008.
3 film, lucky me karena udah ngedapetin tiketnya 2 mingguan sebelum Jiffest digelar, jadi gak perlu ngantri lama lagi atau harus kehabisan film yang gue mau lihat hehehe…
The Man Who Loved Yngve (Mannen Som Elsket Yngve)
6 Desember 2008 @ FX 19.00
Ihiiiiy, film Jiffest 2008 pertama gue niih, nontonnya di FX… film ini awalnya gue pikir berbahasa Jerman atau Belanda karena zfa, chorgpfuh, zyas bla bla gitu hihihi abisan kagak ngerti bahasa apa, tapi ternyata bahasa Norwegia (ooo yayaya, dapet salam dari Lulu). Berkisah tentang Jarle… anak SMA di sebuah kota kecil yang normal banget, I mean… dia punya band (band rock), terus dia akhirnya bisa jadian dengan cewek yang dia suka, dan punya ibu yang perhatian banget. Yah bandel-bandelnya kita juga deh… yang rutin latian band, ribut karena gak bisa masuk club karena masih dibawah umur (ya elah ngingetin gue banget yang disangka belum 21 tahun waktu ke Equinox, maksuud looooe?! Hehe segitu mudanya kah muka gue?!). Anyway, kehidupan Jarle ini tiba-tiba berubah dengan kehadiran anak pindahan bernama Yngve, yang akhirnya membuat si anak band… jadi lebih suka olahraga! Tennis pula, dia juga makin terpacu untuk tampil lebih bagus diatas panggung, bahkan Jarle yang sudah menciptakan lagu cinta buat pacarnya… akhirnya malah memberikan rekaman lagu cinta ciptaannya ke Yngve. Hmmm baik banget sih si Jarle ini, ternyata cinta untuk Yngve ini bisa merubah banyak hal dalam hidupnya….walaupun Yngve adalah seorang pria, yang disayangnya… tapi kemudian disakitinya….
Film yang gado-gado, disatu sisi membuat gue berfikir apa maksud endingnya, terus membuat orang-orang amaze dengan situasi hidup Jarle, sekaligus seru banget, apalagi ngeliat reaksi satu bioskop yang “Waaaw!” atau “Hihihi” muncul ketawa-ketawa geli pas Yngve dicium Jarle, atau pas pacarnya si Jarle kebanyakan topless alias gak pake baju dan mengumbar dada… hehe ya standarlah film Eropa.
In The Name of God (Khuda Kay Liye)
7 Desember 2008 @ FX 16.15
Hari kedua, setelah nonton Twilight di Chitos sama Gerry, Lulu, Donny… gue pikir gue gak akan melihat film yang sebagus Twilight, tapi ternyata…film ini bagus dari sisi yang lain. In The Name of God adalah film Pakistan yang kontroversial dinegaranya… dan issue yang diangkat, beneran… terjadi juga di Indonesia! Di sekitar kita! Coba loe bayangin… 2 kakak beradik: Mansoor dan Sarmad adalah artis pop di Pakistan yang tiba-tiba lagi soundcheck panggung mereka diobrak-abrik oleh kelompok muslim yang berprinsip: Musik itu Haram dalam Islam (karena termasuk kegiatan hiburan, hura-hura yang akan membuat umat semakin terpuruk). Si Sarmad akhirnya dipengaruhi, dan ikut ke dalam kelompok agamis yang ternyata adalah Taliban…Sarmad meninggalkan dunia musik, numbuhin jenggot dan mencopot semua gambar atau lukisan dirumah orangtuanya, bahkan nyuruh nyokapnya berjilbab… padahal keluarga mereka memang Islam yang taat, tapi gak seketat itu. Sementara Mansoor akhirnya memutuskan untuk kuliah musik lagi di Amerika, menemukan cinta dengan seorang gadis bule… tapi akhirnya harus diculik dan diinterogasi dalam penjara gelap karena latar belakangnya sebagai Muslim karena aksi teroris 9/11. Ada lagi cerita perempuan cantik bernama Mary yang juga menjadi sepupu mereka… lama hidup di London (yes, lengkap sama british accent’nya!) dan dia mau menikah dengan pria bule. Karena bapaknya gak mau budaya Islam hilang, apalagi bapaknya menolak wanita Muslim menikah dengan pria non Muslim, akhirnya Mary dijebak dan harus menikah, bahkan punya anak dengan pria yang sama sekali dia gak sayang… poor Mary, issue yang akrab banget dilingkungan kita, dan beruntung sang Sutradara, Shoaib Mansoor berkesempatan datang bahkan nonton bareng dan berdiskusi Tanya-Jawab di akhir penayangan.
Achilles and the Tortoise (Akires to Kame)
7 Desember 2008 @ FX 21.45
Masih di FX (kayaknya gue nontonnya di FX semuanya ya? Hehehe)… kesempatan terakhir gue di Jiffest 2008 gue habiskan dengan marah-marah! Hahaha pernah gak loe nonton film, yang berhasil mengeluarkan emosi loe… bukan sedih, tapi loe marah-marah dan keseeel banget sama tokohnya? Ini yang gue rasain sama tokoh Machisu di film Achilles and the Tortoise ini… di film asal Jepang ini, kita memang diajak melihat hidup Machisu dari dia kecil, dimana dia bergelimang harta, karena bapaknya adalah pimpinan sebuah perusahaan besar. Gak hanya itu, Machisu juga sangat didukung bakatnya didunia lukis… yup! Machisu kecil sangat suka melukis, dia kemana-mana selalu bawa alat lukisnya tanpa menghiraukan orang lain. Nah ini dia nih yang nyebelin… awalnya sih gue suka banget bahkan respect dengan kondisi si kecil Machisu yang ditinggal bunuh diri bapak dan geisha peliharaan bapaknya karena perusahaan mereka bangkrut, apalagi kehidupan Machisu jadi berubah miskin… kehilangan harta bendanya, kehilangan kemewahan, harus hidup dibawah kebencian pamannya…tapi dia tetep teguh, kekeuh untuk tetap melukis… yang lama kelamaan SANGAT MENYEBALKAN. Machisu dewasa semakin gak peduli dengan orang lain, gak peduli dengan pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya. Bahkan semua orang disekitarnya semuanya meninggal dunia atau BUNUH DIRI, ya gak tau deh apakah stress gara-gara Machisu atau gimana? Yang pedih, menyayat hati adalah pas anaknya meninggal… Anaknya yang jadi PSK gara-gara gak ada pemasukan di keluarga mereka, Machisu masih aja ngolesin muka anaknya pake lipstick, trus di peperin ke atas tissue untuk jadi cetakan wajah. Gila! Gue sampe mau cabut dari bioskop saking liat hal-hal sedudul ini hehehe, tapi salut deh sama istrinya yang selalu sabar dan mencintai Machisu yang sampe tua ternyata gak pernah menjadi pelukis yang sukses.